Senin, 28 Desember 2009

coba kedua

Keutamaan Berjabat Tangan Ketika Bertemu

Dari al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.“[1]
Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan berjabat tangan ketika bertemu, dan ini merupakan perkara yang dianjurkan berdasarkan kesepakatan para ulama[2], bahkan ini merupakan sunnah yang muakkad (sangat ditekankan)[3].
Faidah-Faidah Penting yang Terkandung Dalam Hadits:
1. Arti mushaafahah (berjabat tangan) dalam hadits ini adalah berjabat tangan dengan satu tangan, yaitu tangan kanan, dari kedua belah pihak[4]. Cara berjabat tangan seperti ini diterangkan dalam banyak hadits yang shahih, dan inilah arti “berjabat tangan” secara bahasa[5]. Adapun melakukan jabat tangan dengan dua tangan adalah cara yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[6].
2. Berjabat tangan juga disunnahkan ketika berpisah, berdasarkan sebuah hadits yang dikuatkan oleh syaikh al-Albani[7]. Maka pendapat yang mengatakan bahwa berjabat tangan ketika berpisah tidak disyariatkan adalah pendapat yang tidak memiliki dalil/argumentasi. Meskipun jelas anjurannya tidak sekuat anjuran berjabat tangan ketika bertemu[8].
3. Berjabat tangan adalah ibadah yang disyari’atkan ketika bertemu dan berpisah, maka melakukannya di selain kedua waktu tersebut, misalnya setelah shalat lima waktu, adalah menyelisihi ajaran Nabi, bahkan sebagian ulama menghukuminya sebagai perbuatan bid’ah[9]. Di antara para ulama yang melarang perbuatan tersebut adalah al-’Izz bin ‘Abdussalam, Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, Quthbuddin bin ‘Ala-uddin al-Makki al-Hanafi, al-Laknawi dan lain-lain[10].
4. Adapun berjabat tangan setelah shalat bagi dua orang yang baru bertemu pada waktu itu (setelah shalat lima waktu, pen), maka ini dianjurkan, karena niat keduanya adalah berjabat tangan karena bertemu dan bukan karena shalat[11].
5. Mencium tangan seorang guru/ustadz ketika bertemu dengannya adalah diperbolehkan, berdasarkan beberapa hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum. Akan tetapi kebolehan tersebut harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
(a) Tidak menjadikan hal itu sebagai kebiasaan, karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum sendiri tidak sering melakukannya kepada Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi jika hal itu dilakukan untuk tujuan mencari berkah dengan mencium tangan sang guru.
(b) Perbuatan itu tidak menjadikan sang guru menjadi sombong dan merasa dirinya besar di hadapan orang lain, seperti yang sering terjadi saat ini.
(c) Jangan sampai hal itu menjadikan kita meninggalkan sunnah yang lebih utama dan lebih dianjurkan ketika bertemu, yaitu berjabat tangan, sebagaimana keterangan di atas[12].
6. Berjabat Tangan Yang Dianjurkan Islam

Bab ini memuat tiga hadits, yaitu:

Pertama, dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, yang mempunyai beberapa sanad, di antaranya: Dari Quza'ah, ia berkata: "Ibnu Umar Radhiyallahu anhu mengutusku untuk suatu keperluan. Lalu ia berkata: 'Kemarilah, aku akan mengucapkan selamat jalan kepadamu, sebagaimana ucapan selamat tinggal Nabi Shallallahu Alaihi wa Salam kepadaku ketika beliau mengutusku untuk suatu keperluan. Kemudian ia mengucapkan:
"Aku menitipkan agamamu, amanatmu untuk segala akhir perbuatanmu kepada Allah". Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud (n0. 2600) Imam Hakim (2/97), Imam Ahmad (juz 2/25, 38 dan 136), dan Imam Ibnu Asakir (14/290/2 dan 15/469/1) diperoleh dari Abdulaziz bin Umar bin Abdulaziz yang mendengarnya dari Quza'ah. Perawi-perawinya tergologn tsiqoh (konsisten terhadap ajaran Islam, cerdas dan kuat ingatannya) tetapi ada yang diperselisihkan yaitu Abdulaziz.

Sebagian Ulama meriwayatkannya dengan sanad seperti itu, tapi sebagian lain ada pula yang memasukkan satu orang perawi antara Abdulaziz dan Quza'ah. Orang yang dimasukkan tersebut adalah Ismail bin Jari, namun sementara ulama juga ada yang menyebutkannya Yahya bin Ismail bin Jarir. Sedang Al-Hafizh Ibnu Asakir menyebutkan beberapa riwayat yang berbeda-beda. Adapun Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya Al-Taqrib mengatakan: Yang benar adalah "Yahya bin Ismail".

Saya (Al-albani) berpendapat: bahwa hadits itu adalah dha'if, tetapi kemudian menjadi kuat oleh karena adanya sanad-sanad lain. Di dalam riwayat Ibnu Asakir terdapat matan sebagai berikut: "Sebagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Salam mengucapkan selamat tinggal kepadaku, lalu ia menjabat tangan saja. Setelah itu ia mengucapkan: (Ia menyebutkan kalimat seperti hadits di atas).

Diriwayatkan dari Salim, bahwa Ibnu Umar selalu mengucapkan kepada orang yang hendak bepergian: 'Izinkan aku mengucapkan selamat jalan kepadamu, sebagaimana Nabi Shallallahu Alaihi wa Salam mengucapkannya kepadaku, lalu ia berucap: (seperti kalimat pada hadits yang pertama)." Hadits ini dtahrij oleh Imam Tirmidzi (2/255, cet. bulaq), Imam ahmad (2/7), dan Abdul Ghany Al-Maqdisy di juz 63 (41/1) dari Sa'id bin Khutsaimin dari Handzallah yang dikutip dari Salim. Imam tirmidzi berkomentar: "Hadits ini statusnya hasan shahih gharib (ada diantara ketida status tersebut), yang dimaksud adalah yang diriwayatkan oleh Salim."

Saya (Al-Albani) berpendapat: "hadits ini sesuai dengan syarat Muslim, hanya saja sanad yang dari Sa'id masih dipertentangkan. Oleh karena itu Imam Hakim meriwayatkannya (1/442 dan 2/97) dari Ishak bin Sulaiman dan Walid bin Muslim yang dikutip dari Handzalah bin Abu Sufyan diperoleh dari Al-Qasim bin Muhammad yang mengisahkan: "Saya berada di samping Ibnu Umar. Tiba-tiba datang seorang laki-laki dan berkata: "Saya hendak pergi." Lalu Ibnu Umar berkata:Tunggulah, aku akan mengucapkan selamat jalan kepadar£íu: (Kemudian Al-Qasim bin Muhammad menyebutkan kalimat seperti hadits pertama)."

Imam Hakim berkomentar; "Hadits ini statusnya shahih menurut syarat Bukhari-MusIim." Penilaiannya ini disetujui oieh Adz-Dzahabi.

Kemungkinan Imam Tirmidzi menganggap gharib (Hadits yang periwayatannya terdapat perawi yang menyendiri, baik di dalam keberadaan, sifat maupun keadaannya) hadits yang diriwayatkan melalui jalur Salim ini tsiqah. karena dua orang perawi tsiqah, yaitu lshak bin Sulaiman dan AI-Walid bin Musiim, yang berbeda dengan lbnu Khutsaim, sebab lbnu Khutsaim meriwayatkannya dan Handzalah dan Salim, sedangkan kedua perawi tsiqah tersebut mengatakan dari Handzalah yang diperoieh dari AI-Qasim bin Muhammad, dari Salim. Dan inilah yang nampaknya lebih shahih.

Abu Ya'la mentakhrij hadits ini di dalam musnad-nya(2/270), dari jalur AI-Walid bin Muslim saja.

Dari Mujahid, yang menceritakan: "Saya dan seorang laki-laki pergi ke Irak. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan Abdullah lbnu Umar. Tatkala akan berpisah ia berkata: "Aku tidak mempunyai sesuatu yang akan aku nasihatkan kepada kalian. Tetapi aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Jika ia (musafir) menitipkan sesuatu kepada Allah, maka mudah- mudahan Allah berkenan menjaganya. Dan saya menitipkan agama, amanat dan akibat perbuatan kalian kepada Allah s-wt. "
7.
8. platinum
9. October 01, 2005, 07:32
10. Hadits dengan riwayat ini disampaikan oieh lbnu Hibban di dalam kitab Shahihnya (2376), dengan sanad yang shahih.

Dari Nafi¡ Radiyallahu 'anhu dikutip dari Mujahid yang menuturkan: "Apabila Rasulullah saw meninggalkan seseorang, maka beliau meraih tangannya. Dan beliau tidak akan melepaskan genggamannya kecuali orang itu sendiri yang melepaskannya, dan beliau berkata: (Kemudian perawi menyebutkan ucapan selamat tinggal seperti hadits yang pertama). "

Hadits ini diriwayatkan oieh Imam Tirmidzi (2/255, cet. Bulaq), yang menilainya gharib.

Saya berpendapat, bahwa yang dimaksudkan oieh penilaian Imam Tirmidzi itu adalah dha 'if dari segi jalur (sanad) ini. Hal itu bisa demikian karena hadits itu diriwayatkan oieh lbrahim bin Abdurrahman bin Zaid bin Umayyah dari Nafi¡Ç. Padahal lbrahim ini tidak dikenal (majhul).

Tetapi lbrahim tidak meriwayatkan hadits ini seorang diri. namun ada perawi lain yang juga meriwavatkannya yaitu Ibnu Majah (2/943 nomor 2826), yang diperoleh dari Ibnu Abi Laila dari Nafi¡Ç. Akan tetapi Ibnu Abi Laila adalah orang yang kurang baik hafalannya. Nama sebenarnya, Muhammad bin Abdurrahman. la tidak menyebutkan cerita tentang berjabat tangan.

Hadits kedua dari Abdullah AI-Khathami yang menceritakan: "Adalah Rasulidlah saw jika hendak meninggalkan tentaranya, bersabda: (kemudian rawi menyebutkan kalimat yang diucapkan oleh Nabi saw seperti pada hadits pertama). "

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Sina di dalam "Amalul-Yaum Wal-Lailah" (nomor: 498) dengan sanad yang shahih menurut Muslim.

Hadits ketiga, dari Abu Hurairah yang memberitakan: "Rasulullah saw jika meninggalkan seseorang beliau bersabda: (sebagaimana kalimat pada hadits pertama). "

Hadits dengan sanad ini diriwayatkan oieh Imam Ahmad (2/358); dari lbnu Luhai'ah yang mengutip dari AI-Hasan bin Tsauban dari Musa Ibnu Wirdan yang diperolehnya dari Abu Hurairah.

Saya berpendapat, bahwa seluruh perawinya adalah tsiqah. Hanya lbnu Luhai'ah agak buruk hafaiannya. Matan yang dipakainya pun berbeda dengan yang dipakai oieh AI-Laits bin Sa'ad dan Sa'id bin Abi Ayyup yang diperolehnya dari Hasan bin Tsauban yang menuturkan: "Aku akan menitipkanmu kepada Allah yang tidak pemah menyia-nyiakan barang titipan-Nya, "

Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ini lebih shahih dan sanadnya jayyid (shahih). Hadits ini juga diriwayatkan oieh Imam Ahmad (403/1)

Saya juga melihat bahwa lbnu Luhai'ah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang sama pada riwayat yang ditakhrij oieh lbnu Sina (nomor: 501) dan lbnu Majah (2/943, nomor: 2825). Sedang saya sendiri merasa yakin kesalahannya ada pada redaksi yang pertama.

Faedah-faedah Hadits

Dari hadits yang shahih ini dapat diambil beberapa faedah:

l. Disyariatkannya ucapan selamat tinggal dengan kalimat yang telah berlaku, yaitu :¡ÉASTAU DI¡ÇULLAHA DIINAKA WA AMAANATAKA WAKHAWAATIIMA ¡ÆAMALIKA¡É (artinya: Aku menitipkan agamamu, amanatmu, dan segala akhir perbuatanmu kepada Allah)

atau (yang artinya: "Aku akan menitipkanmu kepada Allah yang tidak pemah menyia-nyiakan barang titipan-Nya. ")

2. Bersalaman dengan satu tangan. Hal ini disebutkan pada banyak hadits. Dan jika ditinjau dari segi etimologi, maka kata al-mushafahah artinya: al-akhdzu bil-yadi memegang tangan atau menggenggamnya. Di dalam Lisanul Arab disebutkan: Kata al-mushafahah berarti menggenggam tangan. Begitu juga dengan kata at-tashajuh, Ar-rajul yushafihur-rajul, artinya seseorang menempelkan telapak tangannya pada telapak tangan orang lain dan keduanya saling menempelkan telapak tangan mereka serta saling berhadapan. Arti yang sama dipakai pada hadits mushafahah (ketika bertemu). Kata itu merupakan tindakan menempelkan telapak tangan seseorang dengan telapak tangan orang lain dengan berhadap-hadapan.

Menurut saya ada beberapa hadits yang senada dengan arti tersebut, seperti hadits marfu¡Ç yang diriwayatkan oieh Hudzaifah:

"Jika seorang mukmin bertemu dengan orang mukmin lainnya, lalu mengacapkan salam dan berjabatan tangan, maka semua kesalahan kedua orang itu akan rontok, seperti daun-daun yang berguguran, "

Sementara itu AI-Mundziri (3/270) berkomentar: "Imam Thabrani meriwayatkan hadits ini di dalam ¡ÈAll-Ausath'' dan sepengetahuan saya, perawi-perawinya tidak ada yang terkena jarh (cacat).

Saya berpendapat, hadits ini mempunyai beberapa syahid (hadits penguat) yang dapat meningkatkan statusnya menjadi shahih. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Anas di dalam kitabnya Al-Mukhtarah (nomor: 240/1-2). AI-Mundziri menaikkannya kepada Imam Ahmad dan Imam lainnya.

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa yang disunnahkan di dalam berjabat tangan adalah dengan satu tangan. Apa yang dilakukan oleh beberapa Syaikh, yakni berjabatan tangan dengan dua tangan adalah menyelisihi sunnah. Hal ini perlu kita ketahui secara detail.

3. Berjabatan tangan juga diajarkan ketika akan berpisah. Hal ini diperkuat oleh sabda Nabi saw:

"Merupakan kesempurnaan penghormatan adalah berjabatan tangan. "

Hadits ini dilihat dari segi sanadnya, bagus sekali. Sebenarnya saya bermaksud menampilkan judul tersendiri tentang pernbahasan ini dengan disertai penjelasan mengenai sanad-sanadnya. Akan tetapi setelah saya teliti, temyata sanadnya dha'if dan tidak patut dibuat hujjah. Oleh karena itu, saya hanya menyebutkannya di dalam As-Silsilasul-Ukhra (Rangkaian Hadits yang Lain) (1288).

Adapun mengenai pengambilan dalil pembuktian kebenarannya tentang disyaratkannyasalam ketika berpisah adalah sabda Nabi saw: "Jika salah seorang di antara kalian memasaki masjid, maka ucapkanlah salam. Dan jika ia keluar, maka juga ucapkanlah salam. Salam yang pertama tidaklah lebih utama dari salam yang kedua. "

Hadit ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan lainnya dengan sanad hasan. Melihat hadits ini maka pendapat sebagian ulama' yang mengatakan bahwa berjabatan tangan ketika berpisah adalah bid'ah, sama sekali tidak mempunyai dalil. Memang, orang yang berpendapat tentang adanya hadits-hadits yang mengenai jabat tangan ketika bertemu adalah lebih banyak dan lebih kuat daripada ketika berpisah, tetapi orang yang tajam pemahamannya akan menyimpulkan bahwa intensitas disyari'atkannya berjabatan tangan ketika bertemu dengan ketika berpisah tidak sama. Misalnya berjabatan yang pertama adalah sunnah, sedangkan yang kedua adalah anjuran {mustahabbah}. Sedang bila jabatan tangan yang kedua dikatakan bid'ah, sama sekali tidak mempunyai dasar.

Adapun berjabatan tangan selepas shalat adalah bid'ah. Hal ini tidak diregukan lagi, kecuali antra dua orang yang tidak pernah bertemu sebelumnya, maka dalam kondisi itu berjabatan tangan memang disunnahkan. *)

(Dikutip dari: "Silsilah Hadits Shahih" karya Al-Muhadits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Pustaka Mantiq, Buku I th 1995, hal 38 - 44)

percobaan

dicoba dulu setelah kosong dan sulit masuk